Rabu, 13 November 2013
cerpen sistem pendidikan nasional
Ujian masalah Nasional
Reva sedang duduk di koridor sekolah, sambil membaca buku, tapi dia tidak sedang benar-benar membaca, dia hanya membolak mbalik buku tersebut, tatapannya menerawang jauh. Reva adalah siswi kelas 12 di salah satu SMA negeri di daerahnya, dia hidup dalam keluarga ya boleh di bilang hancur karena ayah dan ibunya bercerai sejak dia kelas 2 SMP. Seperti anak-anak kelas 12 pada umumnya dia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional, sebuah moment dimana semua siswa akan mengalami ketakutan dan akan merasakan tekanan batin.
“kamu udah siap buat ulangan fisika nani rev?” Tanya salah seorang sabatnya
“entahlah aku merasa sudah bosan dengan materi ataupun soal yang bapak guru berikan selama ini, apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk kita bisa memahami materi?” jawabnya sambil menerawang (ngalamun) raut mukannya seakan memperlihatkan bahwa dia memang benar-benar bosan
“aku juga merasakan hal yang sama seperti kamu, mungkin bukan cuman aku dan kamu teman-teman yang lain mungkin juga merasakan hal yang sama, tapi apa boleh buat ini lah yang harus kita hadapin rev, Ujian Nasional”
Reva hanya terdiam mendengar penjelasan sahabatnya itu, dia berfikir apa yang sahabatnya katakana itu ada benarnya. Bukan hanya dia yang merasakan sebuah kecemasan, kejenuhan, dan tekanan batin yang sangat luar biasa. Ternyata teman-temannya juga merasakan hal yang sama seperti apa yang dia rasakan saat ini. Memang tidak mudah mengubah pola pikir dari kelas 11 yang hanya memikirkan senang-senang, nongkrong bareng, dan cuman hura-hura. Sekarang di hadapkan dengan masalah yang boleh di bilang cukup serius yaitu Ujian Nasional. Semua kebiasaan yang ada di kelas 10 dan kelas 11 harus berubah menjadi kebiasaan dimana dituntut untuk belajar, memahami, dan menghafalkan materi yang sudah di tetapkan dalam SKL.
***
Ketika dirumah dia juga harus belajar dengan di awasi oleh ibunya. Semua alat komunikasi disita selama reva menghadapi Ujian Nasional. Jam belajar sekarang juga di batasi dari jam setengah 7 sampai jam 9 malam, bahkan dia harus bangun jam 4 pagi untuk melanjutkan belajar. Itu semua membuat reva menjadi tambah tertekan, dan frustasi dia merasa bahwa dia sangat tidak suka dengan keadaan seperti ini. tekanan-tekanan seperti itu bukan malah mebuat dia semakin semangat malah membuat dia semakin malas untuk belajar dan mempersiapkan Ujian yang akan dia hadapi nanti.
“bagaimana persiapan Ujiannya nak? Apa kamu sudah menguasai materi ? kapan ada tryout lagi? Ibu harap kamu mendapatkan hasil yang baik dalam ujian nak, karena ibu ingin kamu menjadi anak yang sukses, jika nilai ujianmu jelek akan jadi apa kamu nanti? Ibu harap kamu mengeti semua itu demi kebaikan dan masa depan kamu nak, jadi belajarlah yang rajin”
”masih sama seperti biasa bu, aku ga tau kapan ada tryout lagi mungkin bulan depan, ya ibu doakan saja agar aku mendapatkan hasil yang memuaskan dalam ujian dan aku dapat membahagiakan ibu”
Reva pergi meninggalkan ibunya yang duduk di ruang keluarga dan pergi ke kamar, lalu menguncinya rapat-rapat. Dia merenung apa yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia? Kenpa harus ada ujian? Kenapa sekolah 3 tahun harus di tentukan hanya 4 hari?. Semua pertanyaan itu selalu membebani pikirannya. Bukankah sistem seperti itu hanya membuat mental anak-anak jatuh? Mereka akan melakukan hal apapun untuk mencapai hasil yang memuaskan yang katanya demi mencapai masa depan yang baik. Sungguh sistem yang sangat tidak efektif. Negra-negara maju tidak menganakan Ujian Nasional untuk para siswanya tapi malah menjadi Negara yang maju. Harusnya Indonesia belajar bagaimana caranya untuk mempelajari sistim seperti itu. Bukan hanya study banding yang hanya membuang-mbuang uang rakyat. Reva berfikir lama sampai-sampai dia tertidur.
***
Bel masuk berbunyi, pelajaran pun dimulai, pelajaran pertama adalah biologi, anak-anak sibuk membaca buku yang tebalnya melebihi al Qur’an terjemahan. Didalam buku itu hanya terdapat soal-soal tanpa ada materi sedikitpun. Reva melihat ke sekeliling kelas, melihat teman-temannya dan kembali fokus pada buku yang tadi dia baca. Sejurus kemudian bapak guru datang.
“kemarin sampai mana kita?” sambil membuka mbuka buku soal yang sama seperti anak-anak
“halaman 123, nomer 13 pak” jawab anak-anak serempak
Tapi tiba-tiba reva mengancungkan tangannya, seperti ada yang akan dia sampaikan. Hal itu otomatis membuat perhatian anak-anak beralih ke reva.
“maaf pak, apa tidak sebaiknya bapak mengajarkan materi yang sudah tertera pada SKL? Jika kita terus latihan mengerjakan soal maka kami akan terbiasa mengerjakan soal yang jenisnya seperti itu, bagaimana nanti jika kami dihadapkan dan menemukan jenis soal yang berbeda dengan soal yang bapak berikan pada kami? Sedangkan kami tidak mempunyai referensi dan pegangan untuk mengerjakan soal tersebut?”
“ saya sudah berpengalaman mengajar selama lebih dari 10 tahun, saya juga sudah menjadi guru biologi kelas 12 selama 5 tahun, jadi saya mengerti apa yang harus saya berikan pada kalian dan mana yang tidak. Jadi kamu sebagai murid menurut saja apa yang guru berikan, pasti hasilnya memuaskan.”
Setelah mendengar itu reva hanya bisa terdiam, teman-temannya juga kembali meperhatikan guru yang mulai menjelaskan di depan. Dengan terpaksa reva hanya mengikuti yang tadi bapak guru katakana dia mulai mengerjakan soal-soal dan memperhatikan sedikit penjelasan dari gurunya.
Ketika Jam istirahat dia memilih untuk pergi ke ruang BK, Untuk konsultasi tentang apa yang sedang dia dan teman-teman rasakan. Sesampainya di BK ada salah seorang guru yang cantik namanya Ibu farkhah, dia adalah guru BK faforit reva karena setiap ada masalah pasti beliau bisa memberikan solusi yang baik, dan hari inipun dia berharap akan mendapatkan solusi dan mendapat keyakinan dalam menempuh ujian.
“selamat siang ibu, boleh saya minta waktu ibu sebentar? Ada yang ingin saya diskusikan”
“iya, boleh rev, ada apa? Apa yang kamu mau sampaikan? Masalah Ujian?”
“ iya masalah Ujian, sepertinya ibu sudah terbiasa mendengar keluh kesah teman-teman saya yang akan menhadapi ujian”
“itu adalah hal yang saya hadapi setiap taun nak, setiap taun anak-anak saya mengeluh akan beban yang sangat berat untuk menghadapi Ujian, dari mereka belum siap materi, mental, atau bahkan belum siap jika mereka gagal dalam ujian”
Reva hanya terdiam, dia bingung mau memulai dari mana, sankin banyaknya pertayaan di hatinya yang ingin dia sampaikan pada guru favoritnya tersebut.
“sebenarnya Ujian Nasional bukan momok yang menakutkan, jika dari jauh-jauh hari kita mempersiapkan, belajar apa yang telah diajarkan, berdoa agar bisa mendapatkan ketenangan jiwa dan yang terpenting adalah berusaha. Insyaalloh sukses akan kita dapatkan.”
“iya bu saya tau, tapi tidakah keterlaluan jika kami sekolah selama 3 tahun hanya di tentukan dalam waktu 4 hari? Kami juga di tuntut untuk mendapakan nilai yang baik, demi untuk bersaing masuk PTN yang bagus? Itu semua membebani pikiran kami. Apalagi jika kami tidak lulus, rasa malu dan kecewa yang teramat dalam pasti kami rasakan”
“itu semua peraturan dari pusat, ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmu reva. Lebih baik sekarang kamu fokus untuk menghadapi ujian, belajar yang tekun tidak usah memikirkan apa yang tidak seharusnya kamu pikirkan. Karena banyak yang harus kamu lewati sekarang ini.”
Akirnya reva pergi meninggalkan Ibu Farkhah, harapanya untuk memperoleh penjelasan dan ketenangan musnah sudah. Akirnya reva memutuskan untuk berhenti memikirkan tentang polemik ujian nasional yang selama ini menganggu pikirannya.
***
Bulan demi bulan berlalu, sekarang ujian nasional tinggal menghitung hari. Anak-anak kelas 12 disekolah reva semakin kalang kabut. Mereka sibuk memfotocopy soal-soal, sholat sunnah, mohon maaf pada adik-adik kelas. Sungguh terlihat memprihatinkan wajah-wajah calon penurus bangsa ini. Reva juga melakukan hal yang sama seperti teman-temannya, dia sibuk kesana kemari, membaca buku ini dan itu, dan konsultasi pada guru-guru mata pelajaran yang akan diujikan. Tiba- tiba ketika reva sedang duduk dan membaca buku, ada seseorang yang menghampirinya.
“ngapain belajar? Aku punya kunci jawaban soal Ujian Nasional. Kamu cuman perlu banyar 100 ribu buat 4 mata pelajaran. Dijamin tok cer deh” sapanya dengan muka yang berseri-seri tak ada beban.
“kunci jawaban? Emang kamu dapet dari mana? Terus bagaimana kamu bisa yakin itu adalah kunci yang bener? Tanya reva tanpa mengalihkan pandangan pada buku yang sedang dia baca
”aku dapet dari anak SMA sebelah, mereka katanya dapet dari gurunya langsung. Udah deh rev kamu mau kan nilai yang bagus? Dan masuk UNNES? Itu kan cita-cita kamu?”
Reva tersenyum dan menjawab “ iya itu cita-cita aku, tapi aku bakal mencapainya dengan usahaku sendiri. Oke fira, aku harap kamu juga akan melakukan hal yang sama seperti aku” reva pergi meninggalkan fira yang masih termengung dengan kata-kata reva.
Reva berjalan menelusuri koridor sekolah tatapannya kosong, dalam hatinya berkata memang ada yang salah dengan sistem pendidikan yang menggunakan Ujian sebagai penentu dan penilaian akhir siswa mampu ataupun tidak. Tidak sengaja dia bertemu wiwin sahabat karibnya yang sudah di bilang seperti saudara sendiri.
“kamu juga mau membeli kunci jawaban itu?” Tanya reva tiba-tiba yang membuat wiwin tersentak kaget.
“iya aku terpaksa melakukannya, aku belum sepenuhnya mengetahui materi, ibu dan ayahku juga mendukungku untuk membeli kunci itu, mereka takut jika aku tidak lulus padahal aku udah sekolah 3 tahun.”
Jawaban itu membuat reva sesak nafas, dia bingung harus berkomentar apa lagi. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi meninggalkan sahabatnya tersebut. Dia berfikir untuk apa dia memikirkan hal yang bahkan orang lain tidak memikirkan atau bahkan tidak mau tau. Reva memutuskan untuk bertawakal dan berdoa pada Allah agar mendapatkan ketenangan jiwa.
***
Waktupun berlalu, kini ujian yang ditunggu-tunggu datang juga. Semua siswa kelas 12 sudah bersiap-siap untuk memasuki ruangan tempat mereka akan melaksanakan ujian. Reva juga sudah datang dan sudah mempersiapkan hal apa saja yang harus di bawa saat ujian. Bel berbunyi semua siswa memasuki ruangan, sebelum masuk ruangan mereka harus di priksa satu persatu apakah mereka membawa alat bantu untuk mengerjakan soal ataupun tidak.
“ bismillahirohmannirohim” kata reva lirih
“ selamat berpusing-pusing ria reva” kata fira dengan wajah sinis, dan penuh arti
Reva hanya menatapnya dengan tatapan penuh keprihatinan.
Saat pembagian soal dan lembar jawab reva kaget melihat kertas lembar jawab yang sangat tipis seperti kertas pembungkus nasi, dalam hatinya berkata “ bagaimana jika saya salah dalam melingkari jawaban, lalu saya menghapus jawaban saya? Apakah kertas ini akan sobek?”
Ketika mengerjakan reva sangat tidak nyaman melihat polah para teman-temannya, mereka sibuk membuka selembar kertas yang mungkin isinya adalah kunci jawaban, bukankah tadi mereka sudah di periksa satu-satu? Memang kecerdasan guru di banding siswa dalam masalah contek mencontek itu lebih cerdas siswanya. Melihat semua itu reva hanya menghela nafas dan berdoa agar dia di beri ketenangan dan kemudahan saat mengerjakan.
“bagaimana nak, apakah soalnya sulit? Kenapa kamu hanya terdiam? Lihat yang lain sedang mengerjakan” sapa salah seorang pengawas dengan ramah pada reva
“tidak ibu, saya cuman sedang berfikir dan berdoa pada tuhan saya agar saya di beri kemudahan, setiap anak berbeda –beda kan dalam cara mereka mengerjakan soal?”
Pengawas tersebut hanya tersenyum dan meninggalkan reva yang juga tersenyum menatapnya. Akhirnya reva kembali mengerjakan soal demi soal yang tercantum dalam lembar soal. Sesekali dia melihat teman-temannya yang sibuk menyalin kunci jawaban. Ada sedikit rasa iri dalam hati reva.
***
Akhirnya Ujian Nasional pun telah terlewatkan sekarang anak-anak sudah merasa sedikit agak lega, tak terkecuali reva. Reva mengambil kesimpulan dalam menempuh Ujian 50% anak-anak SMAnya menggunakan kunci jawaban yang di jual oleh fira. Dia pasrah saja jika hasil Ujiannya tidak nemuaskan toh dia mengerjakan semua murni dari pikirannya sendiri.
Benar saja ketika pengumuman hasil Ujian siswa-siswi di SMAnya di nyatakan lulus 100%, dengan nilai yang hasil memuaskan, bahkan fira mendapat nilai 100 untuk mata pelajaran Fisika, pelajaran yang di anggap paling sulit di bandingkan yang lain. Reva hanya tersenyum mengetahui itu, dia melirik nilai yang tertera pada amplop yang sedang di pegangnya dalam amplop itu berisi tulisan LULUS dengan nialai
Bahasa Indonesia : 86,40 Fisika : 5,00
Matematika : 5,50 Biologi : 60,40
Kimia : 70,00 Bahasa inggris : 64,00
Reva berkata pada dirinya sendiri, tak apa mendapatkan hasil seperti ini, dengan jerih payah sendiri dari pada seperti dia (fira) tapi dengan hasil yang tidak halal. Dia tidak menyalahkan teman-temannya yang memakai kunci, dia menyadari bagaimana persaan meraka yang menjadi korban sistem yang sangat tidak efektif tersebut. Mereka hanya ingin mencapai nilai yang baik, agar dapat membanggakan orang tua, masuk ke PTN yang favorit, dan yang paling simple adalah sekedar LULUS dari SMA dan SMK.
Kini tiba saat pengumuman penerimaan SNMPTN, reva di terima masuk UNNES, sedangkan fira dan teman-teman lain yang memakai kunci jawaban harus menelan kekecewaan karena mereka tidak dapat masuk ke PTN yang mereka inginkan. Reva bisa tersenyum bangga karena hasil jerih payahnya tidak sia-sia. Alloh telah menunjukan kebesarannya.
Dari pengalamannya mengikuti ujian nasional, reva mengambil kesimpulan jika Ujian Nasional bukanlah menjadi tolak ukur yang sesungguhnya. Karena dalam pelaksanaan ujian banyak terjadi kecurangan dari mulai bocornya soal ujian, lembar jawab yang sama sekali tidak berkualitas dan ulah para oknum guru yang menjadikan ujian nasional sebagai ajang bisnis yang menggiurkan. Terlihat pemerintah tidak sungguh-sungguh mempersiapkan Ujian Nasional atau malah pemerintah belum mampu untuk mengadakan Ujian Nasional. Entahlah!
Langganan:
Postingan (Atom)